NAMA ANGGOTA
KELOMPOK 5
1.
Atmim
Nurona M3513009
2.
Augusta
Amanda Putri M3513010
3.
Desi
Purnaning Putri M3513017
4.
July
Iswara M3513027
5.
Kusuma
Wardani M3513029
6.
Maria
Azizah W M3513031
7.
Meylana
Intan W M3513033
8.
Niky
Rahmadanny M3513034
9.
Syahnidar
Zuhra N M3513053
10. Yahya Imam T M3513057
RESUME JURNAL PARASITOLOGI I
Insidensi
Parasit Pencernaan pada Anak Sekolah Dasar di Perkotaan dan Pedesaan di
Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan
Infeksi cacing
pencernaan khususnya golongan nematoda dan cestoda merupakan masalah
kesehatan yang memerlukan penanganan serius, terutama di daerah tropis karena prevalensi yang cukup
tinggi. Cacing tidak hanya menyerang kelompok rawan seperti usia anak-anak seko
ah tetapi dapat menyerang semua kelompok umur
dan jenis kelamin. Efek yang paling serius
ditemukan pada anak usia sekolah, karena dapat
mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh dan
terhambatnya tumbuh kembang anak. Cacing mengambil sari makanan yang penting
bagi tubuh, antara lain karbohidrat dan zat besi. Diare, badan kurus,
kekurangan cairan (dehidrasi), anemia serta badan lemas, lesu, lubang anus
terasa gatal dan mata sering berkedip-kedip merupakan gejala awal yang
ditimbulkan oleh adanya infeksi cacing. Penyakit kecacingan ini banyak
menimbulkan kerugian.
Tujuan penelitian ini
untuk mendapatkan data kejadian infeksi parasit pencernaan pada anak-anak
daerah perkotaan dan pedesaan di Kabupaten Tanah Bumbu dengan melakukan survei
cacingan pada anak sekolah dasar. Metode penelitian yang digunakan adalah
dengan pemeriksaan langsung feses yang telah terkumpul dari beberapa anak
sekolah dasar dengan menggunakan mikroskop.
Dari hasil pemeriksaan,
tercatat sebanyak 25 anak dari SD di daerah perkotaan yang positif terinfeksi cacing.
Spesies cacing yang ditemukan adalah A. lumbricoides, T.Trichiura,
Hookworm dan Hymenolepis nana, semua cacing yang ditemukan dari
golongan STH. SD di daerah pedesaan tercatat sebanyak 13 anak yang positif
terinfeksi cacing. Spesies yang ditemukan yaitu A . lumbricoides, H. nana, dari
golongan STH serta E. vermicularis yang merupakan cacing dari
golongan non STH. Prevalensi kecacingan di
SD pedesaan sebesar 11,5%, sedangkan di SD per kotaan sebesar 6, 4%. Prevalensi spesies cacing yang tertinggi adalah A. lumbricoides
baik di SD pedesaan (8%) maupun perkotaan (2,6%), sedangkan prevalensi spesies
yang terendah adalah Hookworm (0,3%). Berdasarkan jenis kelamin
prevalensi anak yang terinfeksi cacing pada setiap wilayah sekolah di SD
perkotaan sebanyak 15 anak lakilaki (3,9%), 10 anak wanita (2,6%) terinfeksi
cacing dan di SD pedesaan sebanyak 8 anak laki-laki (7,1%), 5 anak wanita
(4,4%) terinfeksi cacing. Berdasarkan kelompok umur prevalensi anak yang
terinfeksi cacing pada setiap wilayah sekolah di SD perkotaan sebanyak 14 anak
umur 6-9 tahun (3,6%), 11 anak umur 10-15 tahun ( 2,8%) terinfeksi cacing dan
di SD pedesaan sebanyak 9 anak umur 6-9 tahun (8%), 4 anak umur 10-15 tahun
(3,5%) terinfeksi cacing.
Hasil pemeriksaan
menunjukkan prevalensi kecacingan di daerah pedesaan ternyata lebih
tinggi dibandingkan daerah perkotaan, hal tersebut terkait
kondisi lingkungan yang mendukung penularannya. Prevalensi A. lumbricoides di desa maupun di kota merupakan yang tertinggi, karena
siklus hidup cacing ini yang sangat cocok di daerah beriklim tropismenyebabkan
penularannya menjadi sangat baik. Cacing betina dapat bertelur sampai 200.000
butir dalam sehari, jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan spesies cacing
lainnya, sehingga kesempatan untuk menginfeksi manusia juga lebih tinggi.
Kondisi sekolah dimana halamannya masih berupa tanah liat, berpasir dan lembab
menjadikannya sangat baik untuk berkembangnya telur A. lumbricoides
menjadi bentuk infektif. Telur cacing ini dapat tertelan oleh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi oleh telur cacing atau tangan yang tidak dicuci
sebelum makan. Anak-anak sekolah pada umumnya suka membeli jajanan yang tidak
disajikan secara higienis (tidak ditutup), yang kemungkinan besar telah
terkontaminasi telur cacing. Keadaan ini semakin diperparah dengan kondisi
lingkungan yang tidak baik, kurangnya kesadaran untuk mencuci tangan sebelum
makan, masyarakat perkampungan yang masih buang air besar disembarang tempat
serta adanya pemakaian tinja sebagai pupuk. Infeksi cacing tambang
prevalensinya paling rendah karena cara penularan cacing ini dapat terjadi pada
manusia melalui penetrasi larva filariform yang terdapat di tanah ke
dalam kulit, kemudian larva menuju saluran pencernaan melalui aliran darah. Anak-anak yang sering
bermain di tanah tanpa mengenakan alas kaki sangat rentan terinfeksi cacing ini.
Prevalensi infeksi cacing pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada
anak perempuan, baik di kota maupun di desa.
Anak laki-laki pada umumnya memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk terinfeksi
kecacingan dikarenakan perilaku yang lebih
banyak bermain di luar ruangan dan mengalami
kontak dengan tanah. Berdasarkan golongan
umur, anak yang berumur antara 6-9 tahun lebih
banyak yang terinfeksi cacing dibandingkan
yang berumur 10-15 tahun, baik di kota maupun
di desa karena pada usia tersebut seorang anak masih belum mempunyai pengetahuan
dan kesadaran yang baik tentang higienis sanitasi. Anak umur 10-15tahun yang sudah
menginjak remaja umumnya lebih menyadari pentingnya dan bisa menjaga kebersihan
dan kesehatan diri sendiri sehingga kemungkinan terinfeksi cacing menjadi lebih
rendah.
RESUME JURNAL PARASITOLOGI II
KEBERADAAN
TELUR CACING PARASIT PADA SISWA SD DI SEKITAR INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH
(IPAL) TERPADU KOTAMALANG DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEPADATAN TELUR CACING PADA
AIR LIMBAH PERUMAHAN DI IPAL TERPADU
Penyakit
cacingan dapat ditularkan melalui tangan. Kebanyakan telur cacing parasit
bertebaran di permukaan tanah, debu dan menempel di karpet perumahan. Telur
cacing yang mencemari tangan seseorang akan dapat tertelan, jika orang tersebut
memegang makanan dan tidak mencuci tangan terlebih dulu sebelum makan. Infeksi
ini sering terjadi pada anak-anak sekolah dapat mengganggu kemampuan belajar.
Di
kota Malang saat ini jumlah penduduk semakin padat, hal ini dapat dirasakan
saat datang musim penghujan beberapa ruas jalan dan rumah penduduk terendam
banjir. Kawasan padat penduduk biasanya rawan banjir. Banjir akan meluapkan air
selokan, sungai, dan merendam jamban sehingga menyebarkan telur cacing yang
keluar bersama tinja manusia ke lingkungan sekitarnya. Namun penduduk yang
memiliki tangki septik hanya sedikit dan penduduk yang tidak memiliki jamban
pribadi serta jamban yang langsung dihubungkan dengan sungai mencapai 85%. Oleh
karena itu untuk perbaikan kesehatan didirikan Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL). Air limbah dari perumahan ditampung secara terpadu di IPAL untuk
dilakukann pengolahan yaitu dengan diendapkan bahan padatan yang larut dalam
air terlebih dahulu sebelum dibuang ke sungai. Sehingga dilakukan penelitian
ini untuk mengetahui ada tidaknya, macamnya, prevalensi telur cacing parasit
pada tangan dan kuku siswa SD di sekitar IPAL Terpadu Kota Malang dan yang
terdapat pada air limbah perumahan di IPAL Terpadu, serta hubungannya antara
kepadatan setiap populasi telur cacing parasit pada tangan dan kuku siswa SD di
sekitar IPAL dengan pada air limbah perumahan di IPAL Terpadu di Kota Malang.
Pengambilan
sampel pengambilan sampel telur cacing pada tangan dan kuku siswakelas 3 di 5
sekolah dasar sekitar daerah IPAL terpadu
dan pada air limbah perumahan di IPAL terpadu.
Pengambil
sampel pada tangan dan kuku anak SD dilakukan dengan metode pengendapan yaitu
kukunya dipotong dan tangannya dibersihkan dengan menggunakan kain kasa basah
yang telah dicelupkan ke dalam aquades steril. Mencelupkan kain kasa yang telah
digunakan untuk membersihkan jari-jari tangan siswa bersama-sama potongan kuku
ke dalam botol yang berisi larutan NaOH 15%. Kemudian larutan NaOH ini
dimasukkan tabung sentrifuge. Memutar tabung sentrifuge diputar dengan
kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. Kemudian supernatant dibuang dan mengambil
sedimentasi diletakan pada kaca benda dan di amati dengan mikroskop.
Pada
pengambil air limbah IPAL dilakukan dengan metode pengendapan. Air limbah yang diambil yang telah mengalami
proses dan akan dibuang ke sungai. Air limbah diendapkan selama 1 jam. Kemudian
membuangan cairan supernatant dan mengambil sedimen. Sedimen dimasukkan tabung
sentrifuge diputar dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. Membuang cairan
supernatant dan membilas sedimen dengan aquadest. Kemudian kembali disentrifuge
diputar selama 3 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Mengambil sedimen diletakkan
kaca benda dan dilakukan pengamatan.
Setelah
dilakukan pengamatan yang diperoleh melalui pengamatan mikroskopis morfologi
telur spesies cacing parasit yang ditemukan pada kuku dan tangan siswa SD dan
IPAL Terpadu Kota Malang adalah telus Ascaris
lumbricoides, Enterobiasis oxyuriasis, Trichuris
trichiura, dan Ancylostoma duodenale.
Dimana telur tersebut diduga telur Trichuris trichiura karena memiliki
ciri-ciri morfologis seperti Bentuk seperti tempayan dengan operculum yang terletak di kedua kutub, Berwarna kekuning-kuningan dan bagian
dalam, jernih, dengan ukuran panjang = 48,56–50,00 μm, rata-rata = 49,28 μm.
Diameter = 26,82–29,46 μm, rata-rata = 28,14 μm sehingga telur tersebut diperkirakan merupakan telur Trichuris trichiura. Karena berdasarkan
Brown (1979), Jeffrey dan Leach (1983), dan Noble dan Noble (1989). Telur yang
memiliki ciri-ciri bentuk seperti tempayan dengan operkulum yang terletak di
kedua kutub, berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalam jernih, serta rerata
panjang × diameternya 49,28 × 28,14 mm termasuk telur Trichuris trichiura.
Seringnya
ditemukan telur parasit tersebut pada siswa SD karena penularan
keempat jenis penyakit cacing tersebut sangat mudah yaitu dapat melalui tangan
dan kuku yang tidak dijaga kebersihannya. Keempat spesies cacing yang ditemukan
telurnya termasuk soil transmitted helminth sehingga umumnya
telur cacing parasit bertebaran di permukaan tanah, debu, dan menempel di
karpet perumahan serta ditunjang kebiasaan siswa SD yang sangat senang bermain
dengan tanah sehingga memungkinkan telur cacing parasit akan menempel pada
tangannya.
Selain itu, berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa air yang akan dibuang ke sungai hasil pengolahan
pada IPAL masih mengandung telur cacing parasit. Hal ini menunjukkan bahwa
fungsi IPAL masih perlu lebih diperhatikan lagi, mengingat harapan didirikannya
IPAL adalah untuk mencegah timbulnya pencemaran lingkungan sehingga seharusnya
air yang dibuang ke sungai sudah tidak mengandung telur cacing parasit yang
dapat mengakibatkan penyakit cacingan bagi masyarakat. Terdapatnya telur cacing
parasit pada air limbah tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat di sekitar
IPAL masih ada yang menderita penyakit cacingan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa dari lima SD sampel yang digunakan dalam penelitian, hanya
tangan dan kuku siswa SD Mulyorejo 1 tidak mengandung telur cacing parasit,
sedangkan pada keempat SD lainnya ditemukan telur cacing yaitu 4 jenis telur
Nematoda parasite manusia meliputi Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis,
Trichuris trichiura, dan Ancylostoma duodenale. Prevalensi
telur setiap spesies cacing parasit pada siswa SD di sekitar IPAL Kota Malang
adalah A. lumbricoides yaitu sebesar 65,22%, E. vermicularis sebesar
21,47%, T. trichiura sebesar 11,59%, dan A. duodenale sebesar
1,45%. Prevalensi telur setiap spesies cacing parasit di IPAL Terpadu Kota
Malang adalah A. lumbricoides sebesar 88,40%, E. vermicularis sebesar
10,15%, T. trichiura sebesar 1,45, dan A. duodenale sebesar 0%.
RESUME JURNAL PARASITOLOGI III
Cacing Parasit Saluran Pencernaan Pada Hewan
Primata di Taman Satwa Kandi Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat
Penulis : Fadhilah Rahmah*), Dahelmi
dan Siti Salmah
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis cacing parasit saluran pencernaan
yang
menyerang hewan primata dan mengetahui prevalensi cacing parasit saluran pencernaan pada hewan primata di Taman Satwa Kandi Sawahlunto. Pada awalnya satwa mempunyai habitat di alam bebas, kemudian dipindahkan ke alam buatan, sehingga mengalami berbagai perubahan lingkungan dan perlakuan, seperti ruang gerak, pakan, minum dan tempat berteduh.
menyerang hewan primata dan mengetahui prevalensi cacing parasit saluran pencernaan pada hewan primata di Taman Satwa Kandi Sawahlunto. Pada awalnya satwa mempunyai habitat di alam bebas, kemudian dipindahkan ke alam buatan, sehingga mengalami berbagai perubahan lingkungan dan perlakuan, seperti ruang gerak, pakan, minum dan tempat berteduh.
Metode Penelitian ini dilakukan secara observasi langsung dengan
mengoleksi tinja semua
hewan primata yang berada pada masingmasing kandang dan sampel tanah yang berada di dalam kandang di Taman Satwa Kandi Sawahlunto. Tinja dan tanah diambil pada setiap hewan Primata yang berjumlah 10 individu. Tinja yang diambil adalah tinja yang segar, kemudian dimasukkan ke dalam botol film dan diberi label. Sampel yang telah dikoleksi selanjutnya dimasukkan ke dalam termos es yang telah diisi batu es agar tinja tidak menjadi keras dan kering.
hewan primata yang berada pada masingmasing kandang dan sampel tanah yang berada di dalam kandang di Taman Satwa Kandi Sawahlunto. Tinja dan tanah diambil pada setiap hewan Primata yang berjumlah 10 individu. Tinja yang diambil adalah tinja yang segar, kemudian dimasukkan ke dalam botol film dan diberi label. Sampel yang telah dikoleksi selanjutnya dimasukkan ke dalam termos es yang telah diisi batu es agar tinja tidak menjadi keras dan kering.
1.
Pemeriksaan Tinja dengan Metode Apung Sentrifus
Tinja diencerkan dengan aquades dan dihomogenkan,
kemudian disaring dengan
saringan teh dan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diambil dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu disentrifugasi selama 10 menit dengan putaran 2500 rpm. Filtrat yang bening dibuang dan ditambahkan larutan NaCl jenuh, lalu diaduk dan dibiarkan. Telur akan mengapung ke atas, kemudian tempelkan kaca objek di atasnya, tutup dengan kaca penutup dan periksa di bawah mikroskop.
saringan teh dan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diambil dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu disentrifugasi selama 10 menit dengan putaran 2500 rpm. Filtrat yang bening dibuang dan ditambahkan larutan NaCl jenuh, lalu diaduk dan dibiarkan. Telur akan mengapung ke atas, kemudian tempelkan kaca objek di atasnya, tutup dengan kaca penutup dan periksa di bawah mikroskop.
2.
Pemeriksaan Tinja dengan Metode Filtrasi
Tinja diambil kemudian dihomogenkan
dengan aquades dan disaring dengan saringan yang berukuran 1 mm. Hasil saringan
disaring lagi secara bertingkat dengan saringan berukuran
400µ, 100µ, 45µ. Filtrat terakhir dituang ke dalam cawan petri dan adanya telur
cacing parasit dapat diamati
400µ, 100µ, 45µ. Filtrat terakhir dituang ke dalam cawan petri dan adanya telur
cacing parasit dapat diamati
3.
Pemeriksaan Tanah dengan Metode Apung-Sentrifus
Tanah diambil lalu dimasukkan ke dalam tabung
sentrifus dan diencerkan dengan aquadest lalu dihomogenkan. Lalu disentrifus selama 2
menit dengan putaran 1500 rpm. Endapan ditambahkan larutan NaCl jenuh sampai homogen.
Sentrifus kembali selama 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Tambahkan larutan
NaCl jenuh sampai permukaan menjadi cembung. Letakkan kaca objek di atas
larutan. Kemudian amati di bawah mikroskop.
Berdasarkan
hasil pemeriksaan tinja 10 individu hewan Primata ditemukan telur cacing Ascaris
lumbricoides dengan prevalensi (60%), telur cacing Trichuris sp.
(10%), larva rhabditiform Strongyloides stercoralis (20%) dan larva rhabditiform
Necator americanus (20%). Pada tanah yang terkontaminasi tinja ditemukan
telur cacing Ascaris lumbricoides, telur cacing Enterobius
vermicularis (10%), telur cacing Necator americanus dan
larva rhabditiform Strongyloides stercoralis.
Merkur - Merkur - YSK - XN Forum
BalasHapusMerkur. Member Profile > Activity Page. User: merkur 바카라 - Member Profile Page. User: merkur - Member Profile Page. User: merkur 온카지노 - Member Profile Page. User: merkur - Member Profile Page. User: merkur - Member Profile Page. User: merkur - Member 메리트 카지노 쿠폰 Profile Page. User: merkur - Member Profile Page. User: merkur - Member