Pages

>>Welcome To Diploma 3 Pharmacy UNS 2013 Blog's , Thank you for Visitting Here <<

Resume Jurnal Kelompok 4 - Ascaris lumbricoides

Minggu, 21 Desember 2014

GAMBARAN INFESTASI Ascaris lumbricoides DAN Trichuris trichiura PADA MURID KELAS I, II, DAN III SD NEGERI 45 DI LINGKUNGAN PEMBUATAN BATU BATA KECAMATAN TENAYAN RAYA KOTA PEKANBARU

            Infestasi cacing usus yang ditularkan melalui tanah Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan salah satu problem kesehatan masyarakat di dunia khususnya di daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia. Infestasi cacing usus paling banyak terjadi pada anak usia sekolah dasar (SD).Cacing STH yang sering ditemukan di Indonesia yaitu Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Keadaan lingkungan yang cocok seperti udara yang hangat, lembab, tanah liat yang terlindung dari matahari, dan suhu berkisar antara 25o-30oC, merupakan hal-hal yang sangat baik untuk perkembangan telur cacing menjadi matang. Cacing ini memerlukan tanah liat sebagai media untuk menjadi bentuk infektif.
Tanah liat banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, salah satunya mengolah tanah liat untuk pembuatan batu bata. Desa Badak di Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru memiliki sebuah sekolah yang lokasinya dikelilingi oleh tempat pembuatan batu bata, yaitu SD Negeri 45. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, terlihat posisi sekolah dasar ini langsung bersebelahan dengan industri pembuatan batu bata.Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di sekolah dasar tersebut mengenai gambaran infestasi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada murid kelas I, II, dan III SD Negeri 45 di lingkungan pembuatan batu bata Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru
Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu mendeteksi infestasi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada murid kelas I, II, dan III SD Negeri 45 Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi dari penelitian ini adalah murid kelas I, II, dan III SD Negeri 45 yang memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan drop out. Kriteria inklusi yaitu orang tua murid bersedia anaknya diikutsertakan dalam penelitian dan mengisi lembar informed consent, murid hadir sewaktu pemberian arahan penelitian. Kriteria eksklusi yaitu murid yang minum obat cacing 3 bulan sebelum pemeriksaan serta kriteria drop out yaitu murid tidak mau membawa pot tinja dan tidak mau mengisi kuesioner dengan lengkap.
Pengambilan sampel ini dilakukan selama dua hari berturut-turut. Pada hari pertama untuk murid kelas I didapatkan 16 sampel, untuk murid kelas II didapatkan 14 sampel, dan untuk murid kelas III didapatkan 15 sampel. Pada hari kedua untuk murid kelas I dan II telah mencukupi proporsi, sedangkan kelas III melebihi proporsi yang ditentukan, yaitu didapatkan total sampelnya sebesar 29 orang. Oleh karena itu peneliti melakukan random pada sampel kelas III dengan memilih gulungan kertas yang berisikan nomor sampel, hingga jumlah proporsi yang dibutuhkan tercapai, yaitu 27 sampel. Peneliti juga mendapat 4 sampel yang dieksklusikan. Tinja segar yang dikumpulkan langsung diwarnai dengan larutan eosin 2% dan diperiksa di bawah mikroskop. Peneliti juga mengawetkan tinja dengan formalin 10% dengan perbandingan formalin 10%:tinja adalah 3:1.
Pada penelitian ini, angka kejadian infestasi A.lumbricoides lebih banyak pada laki-laki (30,6%) dan A.lumbricoides tinggi pada kelas II yaitu 28%, 6 orang murid mengalami infestasi Trichuris trichiura, jenis kelamin perempuan 4 orang (11,7%) dan kelas I yang paling banyak (9,6%) dan 17 murid mengalami infestasi campuran, jenis kelamin laki-laki (20,4%) dan perempuan (20,5%) hampir sama, dan kelas I paling banyak (22,5%).Hal ini dapat terjadi karena pada daerah penelitian ini responden laki-laki lebih banyak melakukan aktifitas di tanah dan kurang memperhatikan higiene sehingga memungkinkan terjadinya infestasi lebih mudah. Anak-anak biasanya suka bermain di luar yang selalu berhubungan dengan tanah dan ketika makan tidak mencuci tangan.  Anak kelas I memiliki pengetahuan yang minim mengenai perilaku hidup bersih dan sehat serta kurang memperhatikan personal hygiene sehingga akan memudahkan terjadinya infestasi STH. Menurut Mardiana (2008), tinggi rendahnya frekuensi kecacingan berhubungan erat dengan sanitasi lingkungan dan higiene pribadi.
Berdasarkan pemeriksaan feses dan hasil kuesioner, responden yang memiliki kebiasaan buruk dalam mencuci tangan sebelum makan di rumah memiliki angka infestasi tinggi (30,1%) dan responden yang memiliki kebiasaan buruk dalam mencuci tangan sebelum makan jajanan juga tinggi terinfestasi (40,9%). Dari hasil di atas sesuai dengan semestinya, bahwa kebiasaan hidup tidak sehat dalam hal ini mencuci tangan yang buruk sejalan dengan kejadian infestasi STH. Anak-anak paling sering terinfestasi STH karena biasanya suka bermain di tanah dan ketika makan atau makan jajanan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu setelah kontak dengan tanah, akibatnya telur-telur cacing akan tertelan dan berkembang di usus.
Dari penelitian ini dapat kita ketahui bahwa infestasi STH tidak hanya melalui kebiasaan baik dalam hal buang air besar, namun juga dipengaruhi kebiasaan lainya salah satunya kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Hal ini terbukti dari hasil kuesioner murid yang memiliki kebiasaan buruk mencuci tangan terinfestasi tinggi.
Kelompok 4 :
1.      Alina Sekar L.            (M3513002)
2.      Anisa Retno U.            (M3513006)
3.      Bambang Bagus S.      (M3513012)
4.      Bella Asfarina             (M3513014)
5.      Fajar Nurhayati.        (M3513019)
6.      Mariyani                     (M3513032)
7.      Riska Yuli R.              (M3513044)
8.      Rizky Dwi L.               (M3513046)               
9.      Sandra Puspa K.         (M3513049)

Read more ...

Resume Jurnal Kelompok 4 - Cacing usus

Minggu, 21 Desember 2014

Kejadian penyakit cacing usus di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Pada anak-anak, cacingan akan berdampak pada gangguan kemampuan untuk belajar, sedangkan pada orang dewasa akan menurunnya produktivitas kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kecacingan di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional. Telur cacing diidentifikasi menggunakan metode langsung.
Langkah metode cross-sectional yaitu diawali dengan penmgambilan sampel . Sampel yang digunakan adalah tinja penduduk di Kota Palu dan Kabupaten Donggala yang terpilih secara acak untuk semua tingkatan umur. Pengambilan tinja dilakukan sekali dan responden diberikan kesempatan untuk menyerahkan tinjanya selama tiga hari. Sampel tinja dikumpulkan dengan membagikan plastik klip yang berisi stik es krimuntuk mengambil tinja. Sampel tinja yang terkumpul kemudian diperiksa di Laboratorium Parasitologi Balai Litbang P2B2 Donggala.
Identifikasi telur cacing menggunakan metode langsung. Tinja diambil sedikit, diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan lugol 2% kemudian ditutup dengan kaca penutup setelah itu diperiksa di mikroskop dengan menggunakan perbesaran 10x dan 40x8. Fungsi penambahan larutan lugol 2 % ini untuk membuat fase dispers pada suspense tinja sehingga telur cacing nantinya mudah diamati. Data hasil pemeriksaan laboratorium kemudian dihitung tingkat infeksinya (prevalensi), yaitu jumlah sampel tinja yang positif terinfeksi cacing dibagi dengan jumlah sampel yang diperiksa dikalikan
dengan 100%.
Hasil pemeriksaan kecacingan di dua kelurahan di Kota Palu menunjukkan bahwa kecacingan terjadi baik pada laki-laki maupun pada perempuan dengan persentase lebih banyak terjadi pada perempuan. Pada tingkat pendidikan terlihat bahwa yang positif terinfeksi kecacingan paling banyak pada tingkat pendidikan tamat SD, kemudian tamat SMA, dan terendah pada tingkat tidak tamat SD. Sedangkan menurut kelompok umur yang positif kecacingan paling banyak ditemukan pada kelompok umur 18-40 tahun, dan terendah pada kelompok umur lebih dari 65 tahun.
Prevalensi kecacingan di Kota Palu berada di kisaran survei kecacingan tahun 1986-1991 berkisar antara 40-60%, sedangkan di Kabupaten Donggala prevalensi kecacingan berada di bawah hasil survei tersebut.
Tinggi rendahnya prevalensi kecacingan di sutu wilayah penelitian berhubungan erat dengan kebersihan individu dan sanitasi lingkungan  atau ditentukan pula oleh partisipasi masyarakat yang bersedia diperiksa tinjanya. Di Kota Palu, tingkat partisipasi masyarakat yang mengumpulkan tinjanya lebih banyak dibandingkan di Kabupaten Donggala, sehingga memungkinkan lebih banyak masyarakat di Kota Palu yang ditemukan positif terinfeksi cacing dibandingkan di Kabupaten Donggala.
Ada 4 aspek yang menyebabkan terjadinya infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah, keempat aspek tersebut adalah mencuci tangan sebelum makan, membuang air besar dijamban, memakai alas kaki bila bermain dan keluar rumah dan
kebiasaan menggigit kuku jari tangan. Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan merupakan
aspek higiene perseorangan yang berhubungan dengan infeksi kecacingan yang penyebarannya melalui mulut yaitu A. lumbriciodes dan T. trichiura. Manusia terinfeksi oleh A. lumbriciodes dan T. trichiura karena menelan telur infektif (telur yang
mengandung larva) yang mengkontaminasi makanan, minuman dan alat makan.
Proporsi jenis cacing yang paling banyak ditemukan di dua kelurahan di Kota Palu adalah Trichuris trichiura (43,01 %), diikuti oleh infeksi Ascaris lumbricoides (27,96%) danOxyuris vermicularis (9,68%) serta infeksi campuran (1,08%), sedangkan di Kabupaten Donggala adalah Hookworm (11,95%), Ascaris lumbricoides (7,55%), Trichuris trichiura (2,52%), dan infeksi campuran (0,63%)
Kelompok 4 :
1.      Alina Sekar L.                        (M3513002)
2.      Anisa Retno U.           (M3513006)
3.      Bambang Bagus S.      (M3513012)
4.      Bella Asfarina             (M3513014)
5.      Fajar Nurhayati.        (M3513019)
6.      Mariyani                     (M3513032)
7.      Riska Yuli R.              (M3513044)
8.      Rizky Dwi L.               (M3513046)               
9.      Sandra Puspa K.         (M3513049)

Read more ...

Resume Jurnal Kelompok 4 - Cacing Nematoda

Minggu, 21 Desember 2014

Infeksi Cacing Nematoda Pada Usus Halus Babi di Lembah Baliem
dan Pegunungan Arfak Papua
      Babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena mempunyai sifat-sifat menguntungkan di antaranya mempunyai pertumbuhan yang cepat, jumlah anak perkelahiran yang tinggi, efisien dalam mengubah pakan menjadi daging, dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan lingkungan.
      Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah saluran pencernaan babi yang diambil dari pegunungan Arfak sebanyak 20 sampel dan Lembah Baliem 10 sampel. Sampel itu dilakukan pembedahan kemudian usus halus dikerok dan semua isi dari usus halus dikeluarkan dan ditampung di dalam ember yang berisi formalin 70%. Untuk mengidentifikasi jenis cacing yang ada pada usus halus dilakukan penyaringan menggunakan saringan berukuran 150 μm. Cacing-cacing yang terkumpul kemudian diidentifikasi secara mikroskopis
      Setelah dilakukan identifikasi cacing nematode yang menginfeksi usus halus babi di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak, teridentifikasi empat jenis cacing yaitu : Ascaris suum, Strongyloides ransomi, Globocephalus urosubulatus, dan Macracanthothyncus hirudinaceus.
      Dari tiga puluh sampel babi, didapatkan 17 babi positif terinfeksi cacing nematoda dengan prevalensi 57%, dalam hal ini prevalensi cacing nematoda di Lembah Baliem sebesar 90% dan di Pegunungan Arfak sebesar 40%.
      Pada hasil penelitian prevalensi infeksi cacing nematoda menunjukkan bahwa infeksi Ascaris suum tercatat hanya dari babi yang diperiksa di lembah Baliem, dua puluh persen dari babi dari lembah Baliem terinfeksi ascaris ini. Untuk intensitas infeksi cacing pada Lembah Baliem memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan Pegunungan Arfak. Strongyloides ransomi nematoda dengan panjang 4 mm, didapat tiga puluh persen ekor babi yang diperiksa dari daerah Arfak. Globocephalus sp juga dicatat dari duodenum babi diperiksa di wilayah Arfak dan Lembah Baliem. Cacing tambang ini memiliki panjang sekitar 9 mm dan melekat pada mukosa duodenum dengan bukal kapsulnya. Macracanthorhyncus hirudinaceus, yang biasa disebut juga cacing dengan kepala berduri tercatat di kedua daerah dan infeksi berat diamati dari Lembah Baliem. Untuk intensitas infeksi didapatkan hasil bahwa wilayah Lembah Baliem memiliki nilai intensitas yang lebih tinggi dibandingkan wilayah Pegunungan Arfak
      Ascaris sp, Strongloides sp, Globocephalus sp, Macracanthorhyncus sp adalah cacing yang dominan menginfeksi usus halus babi yang berasal dari Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak Papua. Prevalensi infeksi cacing nematoda pada usus halus babi di Lembah Baliem sebesar 90% dan di Pegunungan Arfak sebesar 40%. Intensitas infeksi Ascaris sp pada usus halus babi di Lembah Baliem sebesar 22,25 dan di Pegunungan Arfak sebesar 3,67. Intensitas infeksi Strongyloides sp pada usus halus babi di Lembah Baliem tidak terdapat infeksi dan di Pegunungan Arfak sebesar 530. Intensitas infeksi Globocephalus sp pada usus halus babi di Lembah Baliem 49,5 dan di Pegunungan Arfak sebesar 401,6. Intensitas infeksi Macracanthorhyncus sp pada usus halus babi di Lembah Baliem 5,2 dan di Pegunungan Arfak sebesar 1.
Kelompok 4 :
1.      Alina Sekar L.           (M3513002)
2.      Anisa Retno U.          (M3513006)
3.      Bambang Bagus S.    (M3513012)
4.      Bella Asfarina            (M3513014)
5.      Fajar Nurhayati.       (M3513019)
6.      Mariyani                    (M3513032)
7.      Riska Yuli R.             (M3513044)
8.      Rizky Dwi L.             (M3513046)               
9.      Sandra Puspa K.       (M3513049)

Read more ...