Resume
Jurnal Kelompok 1
Anggota :
1.
Amanatus Sholihah (M3513003)
2.
Amelia Nurfina Devi (M3513004)
3.
Anisa Dewi Soleqah (M3513005)
4.
Anugrah Nur Ristinovit (M3513007)
5.
Ayu Trisna Nur Suko H (M3513011)
6.
Felicitas Lady F (M3513021)
7.
Fungky Agatha Sari (M3513022)
8.
Retno Dwi Ningrum (M3513043)
9.
Sari Astuti (M3513050)
10. Sumayyah
Al. (M3513052)
11. Untari
Diah Ningsih (M3513056)
KETAHANAN
HIDUP (
VIABILITY) TELUR ASCARIS L UMBRICOIDES
DALAM
CAIRAN OLAHAN TINJA TANGKI PENCERNA
Pinardi
Hadidjaja*, Siti Alisah N. Abidin*
dan
Sulistyoweni W**
Telah diperkenalkan kepada masyarakat
model pengolahan tinja menggunakan tangki pencerna sebagai wadah penampungan
tinja penduduk. Hasil pengolahan kemudian dapat dimanfaatkan sebagai bahan
untuk membuat kompos, makanan ikan, pupuk untuk menanam jamur merang dan
sayuran. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh proses pengolahan
tinja terhadap telur Ascaris lumbricoides.
Penelitian dilakukan di RT 002/RW 03 Desa Cirimekar, Kecamatan
Cibinong, Kabupaten Dati I1 Bogor,
Jawa Barat. Di desa tersebut dibangun sebuah model unit pengolahan tinja
terdiri atas sebuah kakus, sumur pompa, pipa distribusi untuk saluran tinja ke
dalam tangki pencerna yang dilengkapi alat pengaduk tinja lengkap dengan
"handle" pemutar yang diputar setiap hari. Tangki pencerna kemudian
dihubungkan dengan jaringan pipa pralon yang dipakai sebagai penyalur tinja
dalam kolam ikan. Pemeriksaan sampel dilakukan dengan cara sedimentasi.
Sedirnen yang diperoleh kemudian diperiksa secara langsung di bawah mikroskop.
Hasil pemeriksaaan cairan olahan tinja yaitu
didapatkan telur A. lumbrioides dalam
kolam D1 dengan 41,3% telur yang sudah mati
/ degeneratif. Kematian telur A. lumbricoides
kemungkinan disebabkan karena terjadinya dekomposisi aerobik pada cairan tinja akibat
pengadukan, lalu suhu dalam cairan tinja yang meninggi hingga mencapai 45˚C, serta air seni yang terdapat pada olahan tinja. Ditemukan
pula telur Trichuris trichiura pada sampel
kolam D4, yaitu 2 buah telur. Transmisi cacing ini dapat berlangsung terus
karena telur A. lumbricoidesdapat tahan hidup
dalam tanah untuk waktu yang lama yaitu sampai 7 tahun. Viabilitas telur Ascaris bergantung pada faktor
tanah yang dipakai pada percobaannya, telur Ascaris yang terdapat di dalam larutan emulsi tinja tanpa tanah, mulai banyak
yang mati pada hari ke 330 hanya tertinggal 6.5% sedangkan yang menggunakan
tanah ternyata 40.2 - 45.7% telur masih hidup pada hari ke 330. Dalam sistem
biogas suhu dalam tangki meninggi sampai 45˚C, sehingga 99% telur Ascaris mati dalam waktu 2 minggu
dan dalam tangki dekomposisi aerobik yang suhunya meninggi sampai mencapai 45˚C
atau lebih telur Ascaris lumbricoides akan
mati dalam waktu 2 bulan. Namun dalam penelitian ini hanya 41.3% yang mati
dalam 73 hari, hal ini disebabkan penutupan tangki yang kurang rapat. Cairan
olahan tinja yang tidak bercampur dengan tanah dan sinar matahari yang terus
menerus akan mempercepat proses degenerasi telur cacing Ascaris lumbricoides.
Dari 2230 buah telur Ascaris yang ditemukan dalam
sampel cair olahan tinja dan kolam pada hari ke – 73 setelah dimulai penelitian
ternyata 41,3% telah mengalami degenerasi atau mati. Proses degenerasi
ditentukan oleh beberapa faktor antara lain adalah proses dekomposisi aerobik
di dalam tangki pencerna, tidak adanya tanah yang bercampur dengan cairan
olahan tinja, dan sinar matahari yang terus menerus menyinari kolam.
CACING
PARASIT SALURAN PENCERNAAN PADA HEWAN PRIMATA DI TAMAN SATWA KANDI KOTA SAWAHLUNTO
PROVINSI SUMATERA BARAT
Fadhilah Rahmah*), Dahelmi dan Siti Salmah
Penyakit
kecacingan merupakan hal yang perlu diperhatikan pada satwa yang tinggal di
penangkaran atau rehabilitasi, karena satwa tersebut terutama primata lebih
rentan terhadap infeksi cacing parasit dibandingkan dengan satwa yang tinggal
di habitat aslinya. Hal ini disebabkan karena satwa
yang tinggal di penangkaran mengalami berbagai perubahan lingkungan dan
perlakuan, seperti ruang gerak, pakan, minum dan tempat berteduh. Salah satu
cara untuk mengidentifikasi adanya cacing pada tubuh primata adalah dengan
pemeriksaan tinja segar untuk mengetahui adanya telur cacing parasit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis cacing parasit saluran
pencernaan yang menyerang hewan primata dan mengetahui prevalensi cacing
parasit saluran pencernaan pada hewan primata di Taman Satwa Kandi Sawahlunto.
Penelitian ini
dilakukan secara observasi langsung dengan mengoleksi tinja semua hewan primata
yang berada pada masing-masing kandang dan sampel tanah yang berada di dalam
kandang di Taman Satwa Kandi Sawahlunto. Metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah pemeriksaan tinja dengan metode apung-sentrifuse, pemeriksaan tinja
dengan metode filtrasi dan pemeriksaan tanah dengan metode apung-sentrifuse.
Pada metode apung-sentrifuse digunakan larutan NaCl untuk mengapungkan telur,
sedangkan pada metode filtrasi digunakan penyaringan bertingkat sehingga
diperoleh hasil penyaringan berupa telur. Setelah itu dilakukan analisis data
untuk mengetahui jenis telur, ciri - ciri, dan prevalensi masing – masing jenis
cacing.
Berdasarkan
hasil pemeriksaan tinja
10 individu hewan Primata
ditemukan telur cacing Ascaris
lumbricoides dengan prevalensi (60%),
telur cacing Trichurissp.
(10%), larva rhabditiform
Strongyloides stercoralis (20%)
dan larva rhabditiform Necator
americanus (20%). Pada tanah
yang terkontaminasi tinja ditemukan telur
cacing Ascaris lumbricoides, telur
cacing Enterobius
vermicularis (10%), telur
cacing Necator americanus dan larva rhabditiform Strongyloides
stercoralis.
Prevalensi dari
masing-masing cacing parasit saluran
pencernaan yang ditemukan pada
hewan Primata adalah
A. lumbricoides dengan prevalensi
tertinggi yaitu sebesar 60%,
diikuti oleh S. stercoralis dan
N. americanus sebesar 20%
dan prevalensi Trichuris
sp. sama dengan E. vermicularis
yakni sebesar 10% . Tingginya prevalensi
dari A. lumbricoides diperkirakan
karena kondisi lingkungan kandang
yang sangat menguntungkan untuk
berkembangnya cacing
tersebut. Kondisi kandang
yang langsung kontak dengan tanah
serta tanah di dalam kandang agak lembab merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan tingginya
prevalensi A. lumbricoides. Telur A.
lumbricoides dapat berkembang dengan baik
di daerah beriklim
dingin maupun di daerah
tropik. Tanah yang lembab
dan cukup teduh
merupakan lingkungan yang sesuai
bagi perkembangan telur Ascaris.
Perbedaan prevalensi
cacing parasit saluran pencernaan
pada hewan Primata di
Taman Satwa Kandi
mungkin disebabkan oleh adanya
perbedaan umur, keaktifan atau
keagresifan hewan, kondisi kandang,
suhu, serta banyaknya
hewan dalam suatu kandang
juga berpengaruh terhadap besarnya
prevalensi cacing parasit saluran
pencernaan. Infeksi cacing parasit yang
ditemukan pada sebagian besar hewan
Primata di Taman
Satwa Kandi perlu mendapat
perhatian khusus. Pemberian obat
cacing secara rutin
perlu dilakukan guna mengurangi infeksi cacing di dalam tubuh
hewan-hewan tersebut.
UJI
KLINIS ACAK TERSAMAR GANDA MEBENDAZOL 500 DENGAN OXANTEL PIRANTEL PAMOATE PADA
INFESTASI TUNGGAL Trichuris trichiura Chairuddin P. Lubis
Penyebaran infeksi cacing yang ditulaskan banyak
terjadi pada anak-anak SD, keadaaan ini tergantung pada kebersihan lingkungan,
kebersihan perseorangan , kebudayaan masyarakat setempat, kebiasaan makan dan
tingkat pendidikan masyarakat. Penelitian ini dilakukan secara uji klinis acak
tersamar ganda, memakai desain pararel dengan pasangan serasi dan dibagi dalam
dua kelompok, kelompok A pengobatan dengan mebendazol 500 mg per oral per dosis
tunggal dan kelompok B dengan pengobatan oxantel pirantel pamoate 100 mg per kg
BB per oral per dosis tunggal. Selain itu Metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah metode kato katz. Metode kato katz dilakukan dengan cara pemeriksaan
tinja sebanyak 3x sebelum mengkonsumsi obat, kemudia pada hari ke 14 dan 21
setelah pemberian obat.
Criteria
inklusi :
1. Murid sekolah dasar kelas 1-6
2. Sehat
3. Dalam
1 bulan terakhir tidak mendapat obat cacing
4. Pada
pemeriksaan tinja ditemukan infestasi tunggal Trichuris trichiura
Criteria
ekslusi :
1. Tidak
teratur makan obat
2. Tidak
ikut memeriksakan tinja pada hari ke 14 dan 21
3. Timbul
efeksamping yang berat seperti mencret, muntah-muntah, kaku perut dan lain-lain
4. Ditemukan
telur cacing selain Trichuris trichiura
Dari
541 murid SD yang tinjanya diperiksa ada 469 (87%) tinja yang positif terdapat
telur dan larva cacing usus yang ditularkan Dari tanah. Dari sampel yang
positif mengandung cacing 314 diantaranya merupakan infestasi campuran cacing
usus dan 95 (18%) infestasi tunggal sedangkan 374 (69%) dan lainnya tidak ditemukan telur cacing usus
dalam tinjanya berjumlah 72 (13%). Dari 95 anak yang menderita infestasi
tunggal diketahui 86 anak menderita infestasi Trichuris trichiura, 8 anak dengan Ascaris lumbricoides 1 orang anak dengan cacing tambang.
Dari
hasil pengobatan menggunakan mebendazol terhadap Trichuris trichiura dapat dilihat bahwa angka penyembuhan pada
minggu ketiga setelah obat adalah lebih baik dari minggu kedua demikian juga
dengan angka penurunan jumlah telur, pada minggu kedua angka penyembuhannya
sebesar 82% dan pada minggu ketiga 97,6% untuk angka penurunan jumlah telur
pada minggu kedua adalah 90,3% an pada minggu ketiga sebesar 99,8%. Dari hasil
dengan oxantel pirantel pamoate diketahui angka penyembuhan pada minggu kedua
adalah 79,5% dan pada minggu ketiga adalah 93,2%. Untuk angka penurunan jumlah
telur pada minggu kedua adalah 97,3%, pada minggu ketiga sebesar 99,3%.
Pengobatan
Trichuris trichiura dengan
menggunakan mebendazol 500 dan oxantel pirantel pamoate memberikan hasil yang
sama baiknya. Dimana angka kesembuhan dengan pemberian mebendazol dan oxante
pirantel pamoate pada minggu kedua adalah 88,1% dan 79,5%. Untuk minggu ketiga
masing-masing sebesar 97,6% dan 97,2%.
IDENTIFIKASI
PARASIT NEMATODA GASTROINTESTINAL ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI KARANTINA BATU MBELIN, SIBOLANGIT PROVINSI SUMATERA
UTARA Ichsan Taufik Nasution1,
Yudha Fahrimal2, dan Muhammad Hasan3
Populasi orangutan sumatera (Pongo abelii) semakin hari
semakin menurun. Ancaman terhadap populasi orangutan sumatera mencakup
perburuan, legal, dan illegal logging, kebakaran hutan, diubahnya hutan
menjadi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, lahan pertanian, pelebaran
jalan, penjualan bayi orangutan, dan penyakit. Salah satu penyakit adalah penyakit
yang disebabkan oleh parasit nematoda gastrointestinal. Tujuan dari penelitian
ini yaitu untuk mendapatkan informasi
serta mengetahui jenis-jenis parasit gastrointestinal pada feses orangutan
sumatera (Pongo abelii) yang berada di Karantina Batu Mbelin
Sibolangit, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian dilakukan di Yayasan Ekosistem
Lestari (YEL) untuk pengambilan sampel feses orangutan dan data sekunder,
sedangkan pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Uji sentrifus dan Uji Sedimentasi. Prinsipuji
sentrifus sendiri adalah dengan membuat larutan sample yaitu feses diitambah
akuades kemudian dimasukan tabung sentrifus dan diputar dengan kecepatan
2000rpm,kemudian ditambah NaCl dan diputar lagi dengan kecepatan 2000rpm.
Setelah itu ditambah NaCl jenuh sehingga terbentuk lapisan cembung yang
nantinya dipindahkan cepat-cepat ke kaca obyek dan diamati dibawah mikroskop.
Sedangkan uji sedimentasi prinsipnya yaitu dengan membuat larutan sampel feses
yang ditambah akuades kemudian ditunggu mengendap, kemudian larutan atas yang
terbentuk dibuang lalu diulang 3-4x lagi. Setelah itu endapan ditambah methilen
blue dan diperiksa dibawah mikroskop.
Berdasarkan
hasil pemeriksaan terhadap 30 sampel feses orangutan sumatera yang berada di
Karantina Batu Mbelin, Provinsi Sumatera Utara dengan mengunakan metode
sentrifus dan sedimentasi diperoleh dua jenis telur nematoda yakni Ascaris spp.
dan Oesophagostomum spp. Parasit gastrointestinal golongan cacing Ascaris
spp. sebesar 26,6 % sedangkan
prevalensi Oesophagostomum spp. sebanyak 6,6% dari 30 sempel
feses orangutan sumatera. Parasit nematoda gastrointestinal menginfeksi
orangutan diperkirakan karena perilaku orangutan yang memakan feses orangutan
lainnya dan mengambil makanan yang terkontaminasi oleh tanah. Kemungkinan lain
adalah orangutan tersebut memang sudah terinfeksi di lokasi pemiliknya sebelum
dibawa ke pusat karantina, serta orangutan terinfeksi cacing nematoda
gastrointestinal dikarenakan kawasannya mempunyai kelembaban yang tinggi.
Tinggi rendahnya frekuensi penularan cacing nematoda gastrointestinal ini
berhubungan erat dengan tercemarnya tanah dengan feses yang mengandung telur
cacing, yang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui adanya
pencemaran di suatu tempat yang diperkirakan dapat menularkan parasit nematoda
gastrointestinal. Dalam penelitian ini tidak ditemukan satupun orangutan yang
terinfeksi ganda oleh kedua jenis parasit. Pengobatan infeksi parasit pada
orangutan sumatera biasanya dilakukan dengan pemberian obat cacing antelmintik
golongan pyrantel pamoat dan obat antelmentik berspektrum luas golongan
mebendazol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar