Pages

>>Welcome To Diploma 3 Pharmacy UNS 2013 Blog's , Thank you for Visitting Here <<

Resume Jurnal Diskusi Parasitologi Kelompok 1

Minggu, 21 Desember 2014


Resume Jurnal Kelompok 1
Anggota :
1.        Amanatus Sholihah                      (M3513003)
2.        Amelia Nurfina Devi                   (M3513004)
3.        Anisa Dewi Soleqah                    (M3513005)
4.        Anugrah Nur Ristinovit               (M3513007)
5.        Ayu Trisna Nur Suko H               (M3513011)
6.        Felicitas Lady F                           (M3513021)
7.        Fungky Agatha Sari                     (M3513022)
8.        Retno Dwi Ningrum                    (M3513043)
9.        Sari Astuti                                    (M3513050)
10.    Sumayyah Al.                              (M3513052)
11.    Untari Diah Ningsih                     (M3513056)















KETAHANAN HIDUP ( VIABILITY) TELUR ASCARIS L UMBRICOIDES
DALAM CAIRAN OLAHAN TINJA TANGKI PENCERNA
Pinardi Hadidjaja*, Siti Alisah N. Abidin*
dan Sulistyoweni W**

Telah diperkenalkan kepada masyarakat model pengolahan tinja menggunakan tangki pencerna sebagai wadah penampungan tinja penduduk. Hasil pengolahan kemudian dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat kompos, makanan ikan, pupuk untuk menanam jamur merang dan sayuran. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh proses pengolahan tinja terhadap telur Ascaris lumbricoides.
Penelitian dilakukan di RT 002/RW 03 Desa Cirimekar, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Dati I1 Bogor, Jawa Barat. Di desa tersebut dibangun sebuah model unit pengolahan tinja terdiri atas sebuah kakus, sumur pompa, pipa distribusi untuk saluran tinja ke dalam tangki pencerna yang dilengkapi alat pengaduk tinja lengkap dengan "handle" pemutar yang diputar setiap hari. Tangki pencerna kemudian dihubungkan dengan jaringan pipa pralon yang dipakai sebagai penyalur tinja dalam kolam ikan. Pemeriksaan sampel dilakukan dengan cara sedimentasi. Sedirnen yang diperoleh kemudian diperiksa secara langsung di bawah mikroskop.
Hasil pemeriksaaan cairan olahan tinja yaitu didapatkan telur A. lumbrioides dalam kolam D1  dengan 41,3% telur yang sudah mati / degeneratif. Kematian telur A. lumbricoides kemungkinan disebabkan karena terjadinya dekomposisi aerobik pada cairan tinja akibat pengadukan, lalu suhu dalam cairan tinja yang meninggi hingga mencapai 45˚C, serta air seni yang terdapat pada olahan tinja. Ditemukan pula telur Trichuris trichiura pada sampel kolam D4, yaitu 2 buah telur. Transmisi cacing ini dapat berlangsung terus karena telur A. lumbricoidesdapat tahan hidup dalam tanah untuk waktu yang lama yaitu sampai 7 tahun. Viabilitas telur Ascaris bergantung pada faktor tanah yang dipakai pada percobaannya, telur Ascaris yang terdapat di dalam larutan emulsi tinja tanpa tanah, mulai banyak yang mati pada hari ke 330 hanya tertinggal 6.5% sedangkan yang menggunakan tanah ternyata 40.2 - 45.7% telur masih hidup pada hari ke 330. Dalam sistem biogas suhu dalam tangki meninggi sampai 45˚C, sehingga 99% telur Ascaris mati dalam waktu 2 minggu dan dalam tangki dekomposisi aerobik yang suhunya meninggi sampai mencapai 45˚C atau lebih telur Ascaris lumbricoides akan mati dalam waktu 2 bulan. Namun dalam penelitian ini hanya 41.3% yang mati dalam 73 hari, hal ini disebabkan penutupan tangki yang kurang rapat. Cairan olahan tinja yang tidak bercampur dengan tanah dan sinar matahari yang terus menerus akan mempercepat proses degenerasi telur cacing Ascaris lumbricoides.
Dari 2230 buah telur Ascaris yang ditemukan dalam sampel cair olahan tinja dan kolam pada hari ke – 73 setelah dimulai penelitian ternyata 41,3% telah mengalami degenerasi atau mati. Proses degenerasi ditentukan oleh beberapa faktor antara lain adalah proses dekomposisi aerobik di dalam tangki pencerna, tidak adanya tanah yang bercampur dengan cairan olahan tinja, dan sinar matahari yang terus menerus menyinari kolam.



CACING PARASIT SALURAN PENCERNAAN PADA HEWAN PRIMATA DI TAMAN SATWA KANDI KOTA SAWAHLUNTO                                            PROVINSI SUMATERA BARAT                                                                                 Fadhilah Rahmah*), Dahelmi dan Siti Salmah
Penyakit kecacingan merupakan hal yang perlu diperhatikan pada satwa yang tinggal di penangkaran atau rehabilitasi, karena satwa tersebut terutama primata lebih rentan terhadap infeksi cacing parasit dibandingkan dengan satwa yang tinggal di habitat aslinya. Hal ini disebabkan karena satwa yang tinggal di penangkaran mengalami berbagai perubahan lingkungan dan perlakuan, seperti ruang gerak, pakan, minum dan tempat berteduh. Salah satu cara untuk mengidentifikasi adanya cacing pada tubuh primata adalah dengan pemeriksaan tinja segar untuk mengetahui adanya telur cacing parasit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis cacing parasit saluran pencernaan yang menyerang hewan primata dan mengetahui prevalensi cacing parasit saluran pencernaan pada hewan primata di Taman Satwa Kandi Sawahlunto.
Penelitian ini dilakukan secara observasi langsung dengan mengoleksi tinja semua hewan primata yang berada pada masing-masing kandang dan sampel tanah yang berada di dalam kandang di Taman Satwa Kandi Sawahlunto. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pemeriksaan tinja dengan metode apung-sentrifuse, pemeriksaan tinja dengan metode filtrasi dan pemeriksaan tanah dengan metode apung-sentrifuse. Pada metode apung-sentrifuse digunakan larutan NaCl untuk mengapungkan telur, sedangkan pada metode filtrasi digunakan penyaringan bertingkat sehingga diperoleh hasil penyaringan berupa telur. Setelah itu dilakukan analisis data untuk mengetahui jenis telur, ciri - ciri, dan prevalensi masing – masing jenis cacing.
Berdasarkan hasil  pemeriksaan  tinja  10 individu  hewan  Primata  ditemukan  telur cacing  Ascaris  lumbricoides  dengan prevalensi  (60%),  telur  cacing  Trichurissp.  (10%),  larva rhabditiform Strongyloides  stercoralis  (20%)  dan  larva rhabditiform  Necator  americanus  (20%). Pada  tanah  yang  terkontaminasi  tinja ditemukan  telur  cacing  Ascaris lumbricoides,  telur  cacing  Enterobius vermicularis  (10%),  telur  cacing  Necator americanus dan larva rhabditiform Strongyloides stercoralis.
Prevalensi  dari  masing-masing  cacing parasit  saluran  pencernaan  yang ditemukan  pada  hewan  Primata  adalah  A. lumbricoides  dengan  prevalensi  tertinggi yaitu  sebesar  60%,  diikuti  oleh  S. stercoralis  dan  N.  americanus  sebesar 20%  dan  prevalensi  Trichuris  sp.  sama dengan E. vermicularis yakni sebesar 10% .  Tingginya  prevalensi  dari  A. lumbricoides  diperkirakan  karena  kondisi lingkungan  kandang  yang  sangat menguntungkan  untuk  berkembangnya cacing  tersebut.  Kondisi  kandang  yang langsung kontak dengan tanah  serta tanah di dalam kandang agak lembab merupakan salah  satu  faktor  yang  menyebabkan tingginya  prevalensi  A.  lumbricoides. Telur  A.  lumbricoides  dapat  berkembang dengan  baik  di  daerah  beriklim  dingin maupun  di  daerah  tropik.  Tanah  yang lembab  dan  cukup  teduh  merupakan lingkungan  yang  sesuai  bagi perkembangan  telur  Ascaris.
Perbedaan  prevalensi  cacing parasit  saluran  pencernaan  pada  hewan Primata  di  Taman  Satwa  Kandi  mungkin disebabkan  oleh  adanya  perbedaan  umur, keaktifan atau keagresifan hewan, kondisi kandang,  suhu,  serta  banyaknya  hewan dalam  suatu  kandang  juga  berpengaruh terhadap  besarnya  prevalensi  cacing parasit  saluran  pencernaan.  Infeksi  cacing parasit  yang  ditemukan  pada  sebagian besar  hewan  Primata  di  Taman  Satwa Kandi  perlu  mendapat  perhatian  khusus. Pemberian  obat  cacing  secara  rutin  perlu dilakukan guna mengurangi infeksi cacing di dalam tubuh hewan-hewan tersebut.



























UJI KLINIS ACAK TERSAMAR GANDA MEBENDAZOL 500 DENGAN OXANTEL PIRANTEL PAMOATE PADA INFESTASI TUNGGAL Trichuris trichiura  Chairuddin P. Lubis
Penyebaran infeksi cacing yang ditulaskan banyak terjadi pada anak-anak SD, keadaaan ini tergantung pada kebersihan lingkungan, kebersihan perseorangan , kebudayaan masyarakat setempat, kebiasaan makan dan tingkat pendidikan masyarakat. Penelitian ini dilakukan secara uji klinis acak tersamar ganda, memakai desain pararel dengan pasangan serasi dan dibagi dalam dua kelompok, kelompok A pengobatan dengan mebendazol 500 mg per oral per dosis tunggal dan kelompok B dengan pengobatan oxantel pirantel pamoate 100 mg per kg BB per oral per dosis tunggal. Selain itu Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kato katz. Metode kato katz dilakukan dengan cara pemeriksaan tinja sebanyak 3x sebelum mengkonsumsi obat, kemudia pada hari ke 14 dan 21 setelah pemberian obat.
Criteria inklusi :
1.      Murid  sekolah dasar kelas 1-6
2.      Sehat
3.      Dalam 1 bulan terakhir tidak mendapat obat cacing
4.      Pada pemeriksaan tinja ditemukan infestasi tunggal Trichuris trichiura
Criteria ekslusi :
1.      Tidak teratur makan obat
2.      Tidak ikut memeriksakan tinja pada hari ke 14 dan 21
3.      Timbul efeksamping yang berat seperti mencret, muntah-muntah, kaku perut dan lain-lain
4.      Ditemukan telur cacing selain Trichuris trichiura

Dari 541 murid SD yang tinjanya diperiksa ada 469 (87%) tinja yang positif terdapat telur dan larva cacing usus yang ditularkan Dari tanah. Dari sampel yang positif mengandung cacing 314 diantaranya merupakan infestasi campuran cacing usus dan 95 (18%) infestasi tunggal sedangkan 374 (69%) dan  lainnya tidak ditemukan telur cacing usus dalam tinjanya berjumlah 72 (13%). Dari 95 anak yang menderita infestasi tunggal diketahui 86 anak menderita infestasi Trichuris trichiura, 8 anak dengan Ascaris lumbricoides 1 orang anak dengan cacing tambang.
Dari hasil pengobatan menggunakan mebendazol terhadap Trichuris trichiura dapat dilihat bahwa angka penyembuhan pada minggu ketiga setelah obat adalah lebih baik dari minggu kedua demikian juga dengan angka penurunan jumlah telur, pada minggu kedua angka penyembuhannya sebesar 82% dan pada minggu ketiga 97,6% untuk angka penurunan jumlah telur pada minggu kedua adalah 90,3% an pada minggu ketiga sebesar 99,8%. Dari hasil dengan oxantel pirantel pamoate diketahui angka penyembuhan pada minggu kedua adalah 79,5% dan pada minggu ketiga adalah 93,2%. Untuk angka penurunan jumlah telur pada minggu kedua adalah 97,3%, pada minggu ketiga sebesar 99,3%.
Pengobatan Trichuris trichiura dengan menggunakan mebendazol 500 dan oxantel pirantel pamoate memberikan hasil yang sama baiknya. Dimana angka kesembuhan dengan pemberian mebendazol dan oxante pirantel pamoate pada minggu kedua adalah 88,1% dan 79,5%. Untuk minggu ketiga masing-masing sebesar 97,6% dan 97,2%.
























IDENTIFIKASI PARASIT NEMATODA GASTROINTESTINAL ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI KARANTINA BATU MBELIN, SIBOLANGIT PROVINSI SUMATERA UTARA                                                                                                    Ichsan Taufik Nasution1, Yudha Fahrimal2, dan Muhammad Hasan3
Populasi orangutan sumatera (Pongo abelii) semakin hari semakin menurun. Ancaman terhadap populasi orangutan sumatera mencakup perburuan, legal, dan illegal logging, kebakaran hutan, diubahnya hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, lahan pertanian, pelebaran jalan, penjualan bayi orangutan, dan penyakit. Salah satu penyakit adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit nematoda gastrointestinal. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk  mendapatkan informasi serta mengetahui jenis-jenis parasit gastrointestinal pada feses orangutan sumatera (Pongo abelii) yang berada di Karantina Batu Mbelin Sibolangit, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian dilakukan di Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) untuk pengambilan sampel feses orangutan dan data sekunder, sedangkan pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji sentrifus dan Uji Sedimentasi. Prinsipuji sentrifus sendiri adalah dengan membuat larutan sample yaitu feses diitambah akuades kemudian dimasukan tabung sentrifus dan diputar dengan kecepatan 2000rpm,kemudian ditambah NaCl dan diputar lagi dengan kecepatan 2000rpm. Setelah itu ditambah NaCl jenuh sehingga terbentuk lapisan cembung yang nantinya dipindahkan cepat-cepat ke kaca obyek dan diamati dibawah mikroskop. Sedangkan uji sedimentasi prinsipnya yaitu dengan membuat larutan sampel feses yang ditambah akuades kemudian ditunggu mengendap, kemudian larutan atas yang terbentuk dibuang lalu diulang 3-4x lagi. Setelah itu endapan ditambah methilen blue dan diperiksa dibawah mikroskop.
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 30 sampel feses orangutan sumatera yang berada di Karantina Batu Mbelin, Provinsi Sumatera Utara dengan mengunakan metode sentrifus dan sedimentasi diperoleh dua jenis telur nematoda yakni Ascaris spp. dan Oesophagostomum spp. Parasit gastrointestinal golongan cacing Ascaris spp. sebesar 26,6 % sedangkan prevalensi Oesophagostomum spp. sebanyak 6,6% dari 30 sempel feses orangutan sumatera. Parasit nematoda gastrointestinal menginfeksi orangutan diperkirakan karena perilaku orangutan yang memakan feses orangutan lainnya dan mengambil makanan yang terkontaminasi oleh tanah. Kemungkinan lain adalah orangutan tersebut memang sudah terinfeksi di lokasi pemiliknya sebelum dibawa ke pusat karantina, serta orangutan terinfeksi cacing nematoda gastrointestinal dikarenakan kawasannya mempunyai kelembaban yang tinggi. Tinggi rendahnya frekuensi penularan cacing nematoda gastrointestinal ini berhubungan erat dengan tercemarnya tanah dengan feses yang mengandung telur cacing, yang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui adanya pencemaran di suatu tempat yang diperkirakan dapat menularkan parasit nematoda gastrointestinal. Dalam penelitian ini tidak ditemukan satupun orangutan yang terinfeksi ganda oleh kedua jenis parasit. Pengobatan infeksi parasit pada orangutan sumatera biasanya dilakukan dengan pemberian obat cacing antelmintik golongan pyrantel pamoat dan obat antelmentik berspektrum luas golongan mebendazol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar