Pages

>>Welcome To Diploma 3 Pharmacy UNS 2013 Blog's , Thank you for Visitting Here <<

Resume Jurnal Diskusi Parasitologi Kelompok 3

Minggu, 21 Desember 2014


Resume Jurnal Kelompok 3
Nama anggota kelompok :
Afrylia Dwi Mardani                           (M3513001)

Aprilia Zuhrotun N                              (M3513008)
           
Bekti Handayani                                  (M3513013)

Ery Rossatria                                       (M3513018)
Febri Arianto                                       (M3513020)
Ima Ferawati                                       (M3513024)
Ira Yuliyanti                                         (M3513025)
M. Adriyadi Sageri                              (M3513030)
Siti Haq                                                (M3513051)
Umi Hartini                                         (M3513055)

Resume Jurnal P I
IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA LALAPAN
KUBIS (Brassica oleracea) DI WARUNG-WARUNG MAKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH). Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan. Transmisi telur cacing ke manusia bisa terjadi dari tanah yang mengandung telur cacing. Telur Soil Transmitted Helminths (STH) dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi.Telur dapat melekat pada sayuran dan tertelan bila sayuran tidak dicuci atau dimasak dengan hati-hati. Sayuran kubis memiliki permukaan daun yang berlekuk-lekuk sehingga memungkinkan telur cacing menetap di dalamnya memungkinkan telur cacing menetap di dalamnya  Salah satu jenis sayuran yang sering terkontaminasi oleh Soil Transmitted Helminths (STH) adalah kubis. Kubis (Brassica oleracea) merupakan jenis sayuran yang umumnya dikonsumsi secara mentah, karena dilihat dari tekstur dan organoleptik sayuran ini memungkinkan untuk dijadikan lalapan. Bedasarkan penelitian yang pernah dilakukan di pasar tradisional dan pasar modern Kota Bandar Lampung, ditemukan angka kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran kubis dan selada yang cukup tinggi.
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan pendekatan laboratorik yaitu untuk mengetahui gambaran hasil identifikasi jumlah dan jenis telur cacing pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung. Sampel penelitian diperoleh dari 14 warung makan yang menyediakan lalapan kubis dengan teknik totally sampling. Pengambilan sampel penelitian dilakukan satu kali dalam seminggu selama tiga minggu sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 42 sampel. Pemeriksaan telur cacing menggunakan metode tak langsung dengan teknik sedimentasi (pengendapan). Lalapan kubis direndam dengan larutan NaOH 0,2% dan kemudian larutan hasil rendaman disentrifugasi sehingga didapatkan endapan. Hasil endapan selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop. Pada sampel kubis yang ditemukan adanya telur Soil Transmitted Helminths (STH), ditentukan jumlah kontaminasi dan jenis telurnya.
Hasil identifikasi telur Soil Transmitted Helminths pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warungwarung makan Universitas Lampung menunjukkan bahwa 26,19% (11 sampel) terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted Helminths. Jenis telur cacing yang ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides sebanyak 6 sampel (14,28%), telur Trichuris trichiura sebanyak 3 sampel (7,14%), dan 2 sampel (4,76%) lalapan kubis terkontaminasi kedua jenis telur cacing ini.
Faktor yang mempengaruhi terdapatnya telur cacing yaitu:
  Telur cacing masih tertinggal pada sayuran segar yang dijadikan sebagai lalapan. Kontaminasi telur cacing pada lalapan kubis ini bisa dipengaruhi oleh tempat atau dimana kubis ini berasal proses penyimpanan kubis, proses pencucian kubis, dan proses penyajian kubis sebagai lalapan.
  transmisi telur cacing juga dapat melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/kotoran, sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut dan mencemari makanan-makanan yang tidak tertutup.
Kesimpulannya yaitu telur Soil Transmitted Helminths (STH) dengan jumlah kontaminasi telur cacing sebanyak 11 sampel lalapan (26,19%). Jenis telur Soil Transmitted Helminths (STH) yang ditemukan adalah telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dan telur cacing cambuk (Trichuris trichiura).



Resume Jurnal P II

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg
Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung
dan Cicadas, Bandung Timur

Julia Suwandi, Susy Tjahjani, Meilinah Hidayat

Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha
                Faktor sanitasi lingkungan yang kurang menjadi penyebab timbulnya penyakit kecacingan khususnya yang ditularkan lewat tanah. Spesies-spesies dari cacing tularan tanah yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan Strongyloides stercoralis. Prevalensi penyakit kecacingan banyak menyerang pada usia anak-anak karena kurangnya kesadaran untuk menjaga kebersihan. Untuk penanggulangan infeksi cacing-cacing yang ditularkan melalui tanah pada anak-anak Sekolah Dasar dilakukan program penyuluhan kesehatan dan pengobatan masal . Penelitian ini dilakukan pada 501 anak-anak di Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur. Obat cacing yang beredar dipasasan seperti pirantel dan mebendazole masih kurang efektif dalam mengatasi penyakit kecacingan yang disebabkan oleh cacing trikuriasis.
            Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas dosis tunggal berulang mebendazole 500 mg terhadap trikuriasis. Metode yang digunakan untuk menemukan telur cacing, khususnya Trichuris trichiura adalah cara Kato-Katz. Tempat untuk tinja berupa pot plastik yang dibagikan pada tiap-tiap murid dan dikumpulkan kembali pada keesokan harinya setelah diisi tinja. Murid-murid yang tinjanya positip mengandung telur cacing Trichuris trichiura dibagi dalam 2 kelompok, untuk diberi dosis pengobatan yang berbeda.
Kelompok I: Diberi mebendazol 500 mg dosis tunggal
Kelompok II : Diberi mebendazol500 mg dosis tunggal dan diulang setelah satu minggu. Tinja diambil dan diperiksa kembaIi satu minggu sesudah pengo-batan dengan cara yang sama.
            Dari hasil penelitian di atas tampak bahwa telur-telur cacing yang ditemukan adalah Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, kedua jenis cacing ini termasuk soil transmitted helminth. Pada penelitian ini terlihat prevalensi askariasis 5,99 %, sedangkan trikuriasis 14,75 %. 1 minggu setelah pengobatan angka penyembuhan trikuriasis adalah 89,47 % untuk kelompok I dan 91,43 % untuk kelompok II. Angka penurunan jumlah telur 93,53 % untuk kelompok I dan 97,59 % untuk kelompok II.
            Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian mebendazaol dengan dosis tunggal berulang lebih efektif mengatasi penyakit kecacingan khusunya tricuhuris trichiura.



Penjelasan metode kato katz
Pemeriksaan untuk mengetahui intensitas kecacingan menggunakan metode kato katz. Metode ini dapat digunakan untuk pemeriksaan telur cacing secara langsung dengan tahap kuantitatif, sehingga dapat mengetahui jumlah telur cacing soil transmitted helmintes yang ada di dalam perut penderita kemudian diklasifikasikan intensitas telurnya.
Pemeriksaan metode kato katz adalah suatu pemeriksaan sediaan tinja ditutup dan diratakan di bawah ”cellophane tape” yang telah direndam dalam larutan malactite green. Metode kato katz adalah salah satu metode pemeriksaan kecacingan secara kuantitatif.
Dari hasil perhitungan secara kuantitatif telur cacing dapat ditentukan klasifikasi intensitas infeksi ( ringan, sedang, atau berat) menurut jenis cacing yang menginfeksi dalam satuan EPG ( Eggs Per Gram), sehingga dapat menggambarkan keadaan infeksi kecacingan. Pemeriksaan kuantitatif kecacingan menggunakan metode Kato Katz, lapangan pandang yang dihasilkan berwarna hijau malachite sehingga pemeriksaan ini lebih efisien untuk pemeriksaan dengan jumlah sampel yang banyak dan mempermudah dalam perhitungan telur cacing. Dalam pemeriksaan ini akan melihat lapangan pandang dengan kepekatan warna yang lebih rendah sehingga mudah untuk dilihat, dan tidak membuat mata cepat lelah.
Langkah dalam metode Pemeriksaan Kato-Katz yaitu :
1.      Cara Membuat Larutan Kato
Yang dimaksud dengan Larutan Kato adalah cairan yang dipakai untuk merendam/memulas selofan (cellophane tape) dalam pemeriksaan tinja terhadap telur cacing menurut modifikasi teknik Kato dan Kato-Katz.
Dalam larutan kato terdapat malchite yang bertujun untuk menonaktifkan larva sehingga pada saat pemeriksaan di bawah mikroskop cacing tidak bermigrasi (bergerak/ berpindah).
Sesudah direndam dalam larutan Kato, dan ratakan tinja di bawah selofan dengan tutup botol karet atau gelas obyek. Digunakan selofan untukmenghitung jumlah telur/ presentasitelur di bawah mikroskop.
2.      Cara Pemeriksaan Kuantitatif
Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi atau berat ingannya penyakit dengan mengetahui jumlah t
elur per gram tinja (EPG) pada setiap jenis cacing.
A) Cara Membuat Preparat:
a. Saringlah tinja menggunakan kawat saring.
b. Letakkan karton yang berlubang di atas slide kemudian masukkan tinja yang sudah di saring pada lubang tersebut
c)Ambillah karton berlubang tersebut dan tutuplah tinja dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan Kato.
d)Ratakan dengan tutup botol karet hingga merata. Diamkan kurang lebih sediaan selama 20 –30 menit.
e)Periksa di bawah mikroskop dan hitung jumlah telur yang ada pada sediaan tersebut.
b) Cara Menghitung Telur
Hasil pemeriksaan tinja secara kuantitatif merupakan intensitas infeksi, yaitu jumlah telur per gram tinja (Egg Per Gram/EPG) tiap jenis cacing.

















 Resume Jurnal P III

Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta

Infeksi cacing  usus ditularkan  melalui cacing yang tercemar telur cacing, tempat tinggal yang tidak saniter dan cara hidup tidak bersih. Diantara cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok “Soil Transmitted Helminth” atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti  Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Anchylostoma sp (cacing tambang). Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya  transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan.
Bahan yang diperiksa adalah sampel tinja murid SD-WGT-Taksin yang terpilih, pemeriksaan sampel tinja dilakukan dengan cara flotasi. Sampel tinja yang telah terkumpul  dan diperiksa di labolatorium.
Sampel tinja diambil dengan dar pot plastic dengan menggunakan tusuk gigi, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi cairan MgSo4 sebanyak 10ml. Tinja dihancurkan dengan alat pengaduk hingga homogen.  Selanjutnya disentrufugasi selama 5 menit dengan kecepatan 2000 rpm lalu ditambahkan cairan MgSo4 sampai mencapai leher tabung dan ditutup dengan kaca penutup kemudian didiamkan selama 30 menit setelah itu kaca penutup tersebut diangkat dan diletakkan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x.
Dari tujuh SD-WGT-TAksin yang terdapat di lima wilayah DKI Jakarta yaitu Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara dan Jakarta Timur. Masing-masing sampel tinja yang terkumpul dari Jakarta Utara sebanyak 102 sampel yang positif telur  cacing sebanyak 50 (49,02%), Jakarta Selatan sebanyak 123 sampel, yang positif telur cacing sebanyak 19 (15.45%), Jakarta Pusat tidak diambil karena SD-WGT-Taksin di wilayah tersebut telah dilaksanakan pengobatan pada murid SD, Jakarta Barat sebanyak 250 sampel tinja yang positif sebanyak 83 (33.20%) dan Jakarta Timur sebanyak 128 sampel tinja yang positif telur cacng sebanyak 12 (9.37%). Selain itu jka dilihat dari dari jenis kelamin  pD murid SD bahwa antara anak laki-laki yang terinfeksi cacing lebih banyak , kemungkinan murid laki – laki lebih sering bermain atau pergi memulung sehingga tangan mereka sering kontak dengan tanah yang tercemar telur cacing.
Murid masih ada yang tidak memakai sepatu atau alas kaki ke sekolah , karena factor ekonomi tidak menunjang untuk membeli sepatu.  Prevalensi cacing usus pada murid SD-WGT-Taskin dari wilayah, dua wilayah yaitu yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat penderita askariasis masing-masing 80% dan 74,70% sedangkan penderita trikuriasis di Jakarta Selatan dan Jakarta Barat masing –masing 68,42% dan 25,30%. Pada penelitian ini tidak ditemukan penderika Ancylostomiasis. Menurut jenis kelamin ternyata Jakarta Utara dari 50 sampel yang positif telur cacing, 25 murid laki- laki dan 25 murid perempuan. Jakarta Selatan dari 19 sampel, positif telur cacing, 11 murid laki –laki an 8 murid perempuan. Jakarta Barat dari 83 sampel, positif telur cacing, 49 murid laki –laki dan 34 murid perempuan ternyata terinfeksi cacing lenih bnayak laki –laki daripada perempuan. Pada penelitian ini tidak ditemukan cacing tambang baik laki- mlaki maupun perempuan.






















Resume Jurnal P IV
ISOLASI  ANTARA PRAVELENSI ENTEROBIASIS VERMICULARIS DENGAN HIGIENES PERORANGAN PADA ANAK USIA 5-18 TAHUN DI DESA KARANGASEM KECAMATAN KUTOREJO KABUPATEN MOJOKERTO

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara higienes perorangan yang baik dengan pravelensi  Enterobiasis Vermicularis.
Penyakit cacing kremi atau yang di dunia kedokteran biasa disebut dengan Enterobiasis Vermicularis atau Oxyuris Vermicularis adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang banyak dijumpai dimasyarakat.
Manusia adalah salah satunya hospesnya, sehingga siklus hidupnya menjadi sempurna pada tubuh manusia dan menyebabkan mudahnya penularan antara manusia ataupun penularan ulaqng yang biasa disebut auto infection.
Telur cacing kremi menjadi infektif dalam waktu enam jam setelah diletakkan didaerah perianal atau cacing betina dewasa dan segera terjadi dapat menulari manusia.
Penularan terjadi 3 cara, Rute faecal oral yaitu melalui kontaminasi makanan dan minuman. Melalui inhalasi dari telur yang terbawa oleh debu yaitu retro infection akibat dari larva cacing yang masuk kembali kedalam usus besar.
Faktor-faktor yang dapat menjadikan penyakit cacing kremi yaitu diantaranya faktor kelembapan, Enterobiasis Vermicularis banyak ditemukan pada penderita yang dirumah dengan ruang yang lembab terutama dengan ruang tidur yang jarang terkena sinar matahari langsung, padahal telur Enterobiasis Vermicularis dapat bertahan hidup pada kelembapan 54% atau pada suhu dua ratus derajad celcius. Faktor kebersihan sendiri,yaitu telur infektif merupakan sebab utama penularan Enterobiasis Vermicularis, telur tersebut dapat tersangkut dibawah jari tangan, dapat pula tetap berada di perlanal akibat kurang bersih saat membersihkan anus setelah buang air besar. Telur dapat tetap dibadan bila pakaian jarang diganti dalam beberapa hari, kebiasaan mencuci tangan sebelum mandi dan keteraturan mandi setiap hari juga merupakan hal yang berpengaruh terhadap timbulnya Enterobiasis Vermicularis. Faktor mekanik, kebiasaan menggaruk daerah anus sewaktu timbul gejala gatal dapat menimbulkan penyebaran telur infektif yang akan mempengaruhi penularan. Faktor lingkungan,yaitu penularannya melaluiperabot rumah tangga, alat-alat mandi, pakaian mudah ditempeli telur infektif yang juga tercampur dalam debu rumah. Semua itu memudahkan penularan secara inhalasi.
Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah populasi anak yang berusia 5-18 tahun sebanyak 456 anak. Dan metode yang digunakan yaitu uji statistik yang digunakan Chi Square ( X2 ) Test, untuk mencari korelasi antara higienes perorangan dengan pravelensi Enterobiasis Vermicularis anak usia 5-18 tahun di desa Karangasem kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto. Data primer dari percobaan ini diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner terhadap responden dan secara random  sampling.
Hasil yang diperoleh yaitu keterkaitan antara antara Enterobiasis Vermicularis dan higienes perorangan jumlah baik buruk pravelensi Enterobiasis Vermicularis sebanyak 45 orang sebanyak (22, 45 %) dimana sebagian besar terdapat pada responden usia 5-9 tahun yaitu sebesar 27 anak ( 60%)
Pada higienes perorangan yang baik didapat pravelensi Enterobiasis Vermiculariss sebesar 7, 18, sedangkan pada higienes perorangan yang buruk didapat pravelensi sebesar 79,06%. Ini menunjukkan bahwa higienes perorangan yang buruk mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena Enterobiasis.
            Dapat disimpulkan bahwa adanya korelasi yang bermakna antara pravelensi Enterobiasis Vermicularis dengan higienes perorangan pada anak usia 5-19 tahun di desa Kutorejo kabupaten Mojokerto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar