Resume
Jurnal Kelompok 3
Nama
anggota kelompok :
Afrylia Dwi Mardani (M3513001)
Aprilia Zuhrotun N (M3513008)
Bekti Handayani (M3513013)
Ery Rossatria (M3513018)
Febri Arianto (M3513020)
Ima Ferawati (M3513024)
Ira Yuliyanti (M3513025)
M. Adriyadi Sageri (M3513030)
Siti Haq (M3513051)
Umi Hartini (M3513055)
Resume
Jurnal P I
IDENTIFIKASI
TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA LALAPAN
KUBIS (Brassica oleracea) DI WARUNG-WARUNG MAKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
KUBIS (Brassica oleracea) DI WARUNG-WARUNG MAKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
Berdasarkan data dari
World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24%
dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH). Soil Transmitted Helminths adalah
nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses
pematangan. Transmisi telur
cacing ke manusia bisa terjadi dari tanah yang mengandung telur cacing. Telur
Soil Transmitted Helminths (STH) dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang
terinfeksi.Telur dapat
melekat pada sayuran dan tertelan bila sayuran tidak dicuci atau dimasak
dengan hati-hati. Sayuran kubis
memiliki permukaan daun yang berlekuk-lekuk sehingga memungkinkan telur cacing
menetap di dalamnya memungkinkan telur cacing menetap di dalamnya Salah satu jenis sayuran yang sering
terkontaminasi oleh Soil Transmitted Helminths (STH) adalah kubis. Kubis
(Brassica oleracea) merupakan jenis sayuran yang umumnya
dikonsumsi secara mentah, karena dilihat dari tekstur dan organoleptik
sayuran ini memungkinkan untuk dijadikan lalapan. Bedasarkan penelitian yang
pernah dilakukan di pasar tradisional dan pasar modern
Kota Bandar Lampung, ditemukan angka kontaminasi Soil Transmitted
Helminths (STH) pada sayuran kubis dan selada yang cukup tinggi.
Jenis penelitian
ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan pendekatan
laboratorik yaitu untuk
mengetahui gambaran hasil identifikasi jumlah dan jenis telur cacing pada
lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.
Sampel penelitian diperoleh dari 14 warung makan yang menyediakan lalapan kubis
dengan teknik totally sampling. Pengambilan sampel penelitian dilakukan satu kali
dalam seminggu selama tiga minggu sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 42
sampel. Pemeriksaan
telur cacing menggunakan metode tak langsung dengan teknik sedimentasi
(pengendapan). Lalapan kubis direndam dengan larutan NaOH 0,2% dan
kemudian larutan hasil rendaman disentrifugasi sehingga didapatkan endapan. Hasil
endapan selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop. Pada sampel kubis yang
ditemukan adanya telur Soil Transmitted Helminths (STH), ditentukan jumlah
kontaminasi dan jenis telurnya.
Hasil identifikasi
telur Soil Transmitted Helminths pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di
warungwarung makan Universitas Lampung menunjukkan bahwa 26,19% (11
sampel) terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted Helminths. Jenis telur
cacing yang ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides sebanyak 6 sampel
(14,28%), telur Trichuris trichiura sebanyak 3 sampel (7,14%), dan 2
sampel (4,76%) lalapan kubis terkontaminasi kedua jenis telur cacing ini.
Faktor yang mempengaruhi
terdapatnya telur cacing yaitu:
Telur cacing masih
tertinggal pada sayuran segar yang dijadikan sebagai lalapan. Kontaminasi telur
cacing pada lalapan kubis ini bisa dipengaruhi oleh tempat atau
dimana kubis ini berasal proses penyimpanan kubis, proses pencucian kubis, dan proses
penyajian kubis sebagai lalapan.
transmisi
telur cacing juga dapat melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/kotoran,
sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut dan mencemari
makanan-makanan yang tidak tertutup.
Kesimpulannya yaitu telur Soil
Transmitted Helminths (STH) dengan jumlah kontaminasi telur cacing sebanyak 11
sampel lalapan (26,19%). Jenis telur Soil Transmitted Helminths (STH) yang
ditemukan adalah telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dan telur cacing
cambuk (Trichuris trichiura).
Resume
Jurnal P II
Efektifitas Dosis Tunggal
Berulang Mebendazol500 mg
Terhadap Trikuriasis pada
Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung
dan Cicadas, Bandung Timur
Julia Suwandi, Susy Tjahjani, Meilinah Hidayat
Bagian Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Maranatha
Faktor sanitasi lingkungan yang kurang menjadi
penyebab timbulnya penyakit kecacingan khususnya yang ditularkan lewat tanah. Spesies-spesies
dari cacing tularan tanah yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus) dan Strongyloides stercoralis. Prevalensi
penyakit kecacingan banyak menyerang pada usia anak-anak karena kurangnya
kesadaran untuk menjaga kebersihan. Untuk penanggulangan infeksi cacing-cacing yang ditularkan melalui
tanah pada anak-anak Sekolah Dasar dilakukan program penyuluhan kesehatan dan
pengobatan masal . Penelitian ini dilakukan pada 501 anak-anak di Sekolah Dasar
Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur. Obat cacing yang beredar dipasasan seperti
pirantel dan mebendazole masih kurang efektif dalam mengatasi penyakit
kecacingan yang disebabkan oleh cacing trikuriasis.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efektifitas dosis tunggal berulang mebendazole 500 mg terhadap
trikuriasis. Metode yang digunakan untuk
menemukan telur cacing, khususnya Trichuris trichiura adalah cara Kato-Katz. Tempat untuk tinja berupa pot plastik
yang dibagikan pada tiap-tiap murid dan dikumpulkan kembali pada keesokan harinya
setelah diisi tinja. Murid-murid yang tinjanya positip mengandung telur cacing
Trichuris trichiura dibagi dalam 2 kelompok, untuk diberi dosis pengobatan yang
berbeda.
Kelompok I: Diberi mebendazol 500 mg dosis tunggal
Kelompok II : Diberi mebendazol500 mg dosis tunggal dan diulang
setelah satu minggu. Tinja diambil dan
diperiksa kembaIi satu minggu sesudah pengo-batan dengan cara yang sama.
Dari hasil penelitian di atas tampak
bahwa telur-telur cacing yang ditemukan adalah Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura, kedua jenis cacing ini termasuk soil transmitted helminth.
Pada penelitian ini terlihat prevalensi askariasis 5,99 %, sedangkan
trikuriasis 14,75 %. 1
minggu setelah pengobatan angka penyembuhan trikuriasis adalah 89,47 % untuk
kelompok I dan 91,43 % untuk kelompok II. Angka penurunan jumlah telur 93,53 %
untuk kelompok I dan 97,59 % untuk kelompok II.
Dapat
ditarik kesimpulan bahwa pemberian mebendazaol dengan dosis tunggal berulang
lebih efektif mengatasi penyakit kecacingan khusunya tricuhuris trichiura.
Penjelasan
metode kato katz
Pemeriksaan untuk mengetahui intensitas kecacingan
menggunakan metode kato katz. Metode ini dapat digunakan untuk pemeriksaan
telur cacing secara langsung dengan tahap kuantitatif, sehingga dapat
mengetahui jumlah telur cacing soil transmitted helmintes yang ada di dalam
perut penderita kemudian diklasifikasikan intensitas telurnya.
Pemeriksaan metode
kato katz adalah suatu pemeriksaan sediaan tinja ditutup dan diratakan di bawah
”cellophane tape” yang telah direndam dalam larutan malactite green. Metode
kato katz adalah salah satu metode pemeriksaan kecacingan secara kuantitatif.
Dari hasil
perhitungan secara kuantitatif telur cacing dapat ditentukan klasifikasi
intensitas infeksi ( ringan, sedang, atau berat) menurut jenis cacing yang
menginfeksi dalam satuan EPG ( Eggs Per Gram), sehingga dapat menggambarkan
keadaan infeksi kecacingan. Pemeriksaan kuantitatif kecacingan
menggunakan metode Kato Katz, lapangan pandang yang dihasilkan berwarna hijau
malachite sehingga pemeriksaan ini lebih efisien untuk pemeriksaan dengan
jumlah sampel yang banyak dan mempermudah dalam perhitungan telur cacing. Dalam
pemeriksaan ini akan melihat lapangan pandang dengan kepekatan warna yang lebih
rendah sehingga mudah untuk dilihat, dan tidak membuat mata cepat lelah.
Langkah dalam metode Pemeriksaan
Kato-Katz yaitu :
1.
Cara Membuat Larutan Kato
Yang dimaksud dengan Larutan Kato
adalah cairan yang dipakai untuk merendam/memulas selofan (cellophane tape)
dalam pemeriksaan tinja terhadap telur cacing menurut modifikasi teknik Kato
dan Kato-Katz.
Dalam larutan kato terdapat malchite
yang bertujun untuk menonaktifkan larva sehingga pada saat pemeriksaan di bawah
mikroskop cacing tidak bermigrasi (bergerak/ berpindah).
Sesudah direndam dalam larutan Kato,
dan ratakan tinja di bawah selofan dengan tutup botol karet atau gelas obyek.
Digunakan selofan untukmenghitung jumlah telur/ presentasitelur di bawah
mikroskop.
2.
Cara Pemeriksaan Kuantitatif
Pemeriksaan kuantitatif diperlukan
untuk menentukan intensitas infeksi atau berat ingannya penyakit dengan
mengetahui jumlah t
elur per gram tinja (EPG) pada
setiap jenis cacing.
A) Cara Membuat Preparat:
a.
Saringlah tinja menggunakan kawat saring.
b. Letakkan karton yang berlubang di
atas slide kemudian masukkan tinja yang sudah di saring pada lubang tersebut
c)Ambillah karton berlubang tersebut
dan tutuplah tinja dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan Kato.
d)Ratakan dengan tutup botol karet
hingga merata. Diamkan kurang lebih sediaan selama 20 –30 menit.
e)Periksa di bawah mikroskop dan
hitung jumlah telur yang ada pada sediaan tersebut.
b) Cara Menghitung Telur
Hasil
pemeriksaan tinja secara kuantitatif merupakan intensitas infeksi, yaitu jumlah
telur per gram tinja (Egg Per Gram/EPG) tiap jenis cacing.
Resume Jurnal P III
Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar
Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di
Wilayah DKI Jakarta
Infeksi
cacing usus ditularkan melalui cacing yang tercemar telur cacing,
tempat tinggal yang tidak saniter dan cara hidup tidak bersih. Diantara cacing
usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok “Soil Transmitted Helminth”
atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
dan Anchylostoma sp (cacing tambang). Pencemaran tanah merupakan penyebab
terjadinya transmisi telur cacing dari
tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing,
lalu masuk ke mulut bersama makanan.
Bahan yang
diperiksa adalah sampel tinja murid SD-WGT-Taksin yang terpilih, pemeriksaan
sampel tinja dilakukan dengan cara flotasi. Sampel tinja yang telah
terkumpul dan diperiksa di labolatorium.
Sampel tinja
diambil dengan dar pot plastic dengan menggunakan tusuk gigi, kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi cairan MgSo4 sebanyak 10ml.
Tinja dihancurkan dengan alat pengaduk hingga homogen. Selanjutnya disentrufugasi selama 5 menit
dengan kecepatan 2000 rpm lalu ditambahkan cairan MgSo4 sampai mencapai leher
tabung dan ditutup dengan kaca penutup kemudian didiamkan selama 30 menit
setelah itu kaca penutup tersebut diangkat dan diletakkan di bawah mikroskop
dengan perbesaran 400x.
Dari tujuh SD-WGT-TAksin
yang terdapat di lima wilayah DKI Jakarta yaitu Jakarta Barat, Jakarta Pusat,
Jakarta Selatan, Jakarta Utara dan Jakarta Timur. Masing-masing sampel tinja
yang terkumpul dari Jakarta Utara sebanyak 102 sampel yang positif telur cacing sebanyak 50 (49,02%), Jakarta Selatan
sebanyak 123 sampel, yang positif telur cacing sebanyak 19 (15.45%), Jakarta
Pusat tidak diambil karena SD-WGT-Taksin di wilayah tersebut telah dilaksanakan
pengobatan pada murid SD, Jakarta Barat sebanyak 250 sampel tinja yang positif
sebanyak 83 (33.20%) dan Jakarta Timur sebanyak 128 sampel tinja yang positif
telur cacng sebanyak 12 (9.37%). Selain itu jka dilihat dari dari jenis
kelamin pD murid SD bahwa antara anak
laki-laki yang terinfeksi cacing lebih banyak , kemungkinan murid laki – laki
lebih sering bermain atau pergi memulung sehingga tangan mereka sering kontak dengan
tanah yang tercemar telur cacing.
Murid masih ada yang tidak memakai sepatu atau alas kaki ke sekolah
, karena factor ekonomi tidak menunjang untuk membeli sepatu. Prevalensi cacing usus pada murid
SD-WGT-Taskin dari wilayah, dua wilayah yaitu yaitu Jakarta Utara dan Jakarta
Barat penderita askariasis masing-masing 80% dan 74,70% sedangkan penderita
trikuriasis di Jakarta Selatan dan Jakarta Barat masing –masing 68,42% dan
25,30%. Pada penelitian ini tidak ditemukan penderika Ancylostomiasis. Menurut
jenis kelamin ternyata Jakarta Utara dari 50 sampel yang positif telur cacing,
25 murid laki- laki dan 25 murid perempuan. Jakarta Selatan dari 19 sampel,
positif telur cacing, 11 murid laki –laki an 8 murid perempuan. Jakarta Barat
dari 83 sampel, positif telur cacing, 49 murid laki –laki dan 34 murid
perempuan ternyata terinfeksi cacing lenih bnayak laki –laki daripada
perempuan. Pada penelitian ini tidak ditemukan cacing tambang baik laki- mlaki
maupun perempuan.
Resume
Jurnal P IV
ISOLASI
ANTARA PRAVELENSI ENTEROBIASIS VERMICULARIS DENGAN HIGIENES PERORANGAN
PADA ANAK USIA 5-18 TAHUN DI DESA KARANGASEM KECAMATAN KUTOREJO KABUPATEN
MOJOKERTO
Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui hubungan antara higienes perorangan yang baik dengan
pravelensi Enterobiasis Vermicularis.
Penyakit cacing
kremi atau yang di dunia kedokteran biasa disebut dengan Enterobiasis
Vermicularis atau Oxyuris Vermicularis adalah salah satu penyakit infeksi
parasit yang banyak dijumpai dimasyarakat.
Manusia adalah
salah satunya hospesnya, sehingga siklus hidupnya menjadi sempurna pada tubuh
manusia dan menyebabkan mudahnya penularan antara manusia ataupun penularan
ulaqng yang biasa disebut auto infection.
Telur cacing kremi menjadi infektif dalam
waktu enam jam setelah diletakkan didaerah perianal atau cacing betina dewasa
dan segera terjadi dapat menulari manusia.
Penularan terjadi 3
cara, Rute faecal oral yaitu melalui kontaminasi makanan dan minuman. Melalui
inhalasi dari telur yang terbawa oleh debu yaitu retro infection akibat dari
larva cacing yang masuk kembali kedalam usus besar.
Faktor-faktor yang
dapat menjadikan penyakit cacing kremi yaitu diantaranya faktor kelembapan,
Enterobiasis Vermicularis banyak ditemukan pada penderita yang dirumah dengan
ruang yang lembab terutama dengan ruang tidur yang jarang terkena sinar
matahari langsung, padahal telur Enterobiasis Vermicularis dapat bertahan hidup
pada kelembapan 54% atau pada suhu dua ratus derajad celcius. Faktor kebersihan
sendiri,yaitu telur infektif merupakan sebab utama penularan Enterobiasis
Vermicularis, telur tersebut dapat tersangkut dibawah jari tangan, dapat pula
tetap berada di perlanal akibat kurang bersih saat membersihkan anus setelah
buang air besar. Telur dapat tetap dibadan bila pakaian jarang diganti dalam
beberapa hari, kebiasaan mencuci tangan sebelum mandi dan keteraturan mandi
setiap hari juga merupakan hal yang berpengaruh terhadap timbulnya Enterobiasis
Vermicularis. Faktor mekanik, kebiasaan menggaruk daerah anus sewaktu timbul
gejala gatal dapat menimbulkan penyebaran telur infektif yang akan mempengaruhi
penularan. Faktor lingkungan,yaitu penularannya melaluiperabot rumah tangga,
alat-alat mandi, pakaian mudah ditempeli telur infektif yang juga tercampur
dalam debu rumah. Semua itu memudahkan penularan secara inhalasi.
Dalam penelitian
ini sampel yang digunakan adalah populasi anak yang berusia 5-18 tahun sebanyak
456 anak. Dan metode yang digunakan yaitu uji statistik yang digunakan Chi
Square ( X2 ) Test, untuk mencari korelasi antara higienes perorangan dengan
pravelensi Enterobiasis Vermicularis anak usia 5-18 tahun di desa Karangasem
kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto. Data primer dari percobaan ini
diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner terhadap responden dan secara
random sampling.
Hasil yang
diperoleh yaitu keterkaitan antara antara Enterobiasis Vermicularis dan
higienes perorangan jumlah baik buruk pravelensi Enterobiasis Vermicularis
sebanyak 45 orang sebanyak (22, 45 %) dimana sebagian besar terdapat pada
responden usia 5-9 tahun yaitu sebesar 27 anak ( 60%)
Pada higienes perorangan yang baik didapat
pravelensi Enterobiasis Vermiculariss sebesar 7, 18, sedangkan pada higienes
perorangan yang buruk didapat pravelensi sebesar 79,06%. Ini menunjukkan bahwa
higienes perorangan yang buruk mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena
Enterobiasis.
Dapat
disimpulkan bahwa adanya korelasi yang bermakna antara pravelensi Enterobiasis
Vermicularis dengan higienes perorangan pada anak usia 5-19 tahun di desa
Kutorejo kabupaten Mojokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar